Bingung dengan title ini ?
Saya tergerak untuk menuliskan pengalaman pribadi after joining Doulos Camp beberapa waktu lalu. Terus terang, sebenarnya enggan sekali mengikuti acara ini, karena keberatan-keberatan hati nurani.
Tapi mau nggak mau, tetap harus ikut. karena persyaratan pendidikan pelayanan yang sedang saya ikuti.
Kenapa enggan mengikutinya? Apakah karena takut dibentak? dimarahi? dihukum?
Saya punya alasan kuat untuk itu.
Dulu semasa masih tinggal bersama orangtua, dari kecil sampai tamat SMA, dididik dalam suasana bernuansa voltase tinggi. Rasanya stress sekali. Pengen cepat bisa keluar dari rumah.
Masuk ITB, mengikuti program OSPEK, yang sangat keras sekali (pada waktu itu), yang membuat saya mengalami nightmare selama 2 minggu setelah program tersebut selesai.
Sejak saat itu saya berkata " Enough....!!!"
"Saya nggak mau lagi ada suasana ketegangan, kemarahan dalam hidup saya. Kalau bisa... sedapat mungkin saya akan menghindarinya."
Dan itu saya terapkan...... benar-benar.
Saya menghindari "tegangan tinggi".
gembalanya pemarah nggak.
Berdoa untuk soulmate... kalau pemarah atau suka memaksakan kehendak.... no way.
Demikian juga ketika semua gembala dan pengerja gereja lokal saya mengikuti program semacam Doulos ini sekitar 5-6 tahun lalu, hanya saya seorang yang menyatakan "TIDAK AKAN IKUT!!!".
Bener loh...
Bukan karena takut, tapi menyangkut prinsip.
Saya berkata kepada teman-teman saya "kita lihat saja buktinya, mana yang lebih setia melayani Tuhan, kamu yang ikut training ini, atau saya yang tidak ikut."
Kenapa saya berani berkata seperti itu ? Sesumbar? Sok ? Merasa lebih hebat ?
Sama sekali tidak. Saya tahu persis, kalau saya bisa melayani Tuhan adalah kasih karunia.
Tuhan yang pilih saya, bukan saya yang pilih Tuhan.
Kenapa saya berani berkata tanpa training tsb pun saya akan tetap melayani Tuhan ?
The only reason yang membuat saya hingga saat ini masih melayani Tuhan, karena sekalipun saya serahkan nyawa, mati untuk Tuhan, nggak akan pernah bisa bayar semua pengorbanan yang Tuhan Yesus berikan untuk saya.
Terlalu mahal harganya. Yang bisa saya lakukan hanyalah melayani Dia seumur hidup.
Sekalipun nggak setara, tapi itu cara saya untuk berterimakasih.
Tidak perlu bentakan, saya akan tetap melayani Tuhan.
Tidak perlu dihukum dulu, saya akan terus belajar beri yang terbaik untuk Tuhan
"JOINING THIS DOULOS CAMP WAS THE WORST DECISION I EVER MADE"
Seperti yang sudah saya duga (karena saya sudah pernah melihat pre-camp seperti ini 5 tahun lalu), suasana tegangan tinggi mulai terasa.
Bentakan, kata-kata sarkas, omelan, menjadi menu setiap sessi acara. Suasana mencekam.
Nada bicara komandan "do" tinggi semuanya.
Kata-kata yang diucapkan oleh komandan kepada peserta yang membuat kesalahan sangat menyakitkan hati. Padahal, siapa sih manusia yang nggak pernah berbuat salah ?
Saya sibuk membenahi hati saya untuk tidak tersinggung, berusaha rendah hati, dan tidak marah.
Saya pikir, perserta melakukan tugas yang diberikan, bukan lagi karena rela, tapi karena takut dihukum.
"Ini nggak benar", begitu pikiran saya. Cara Tuhan Yesus nggak seperti ini. Bukan kemarahan meledak-ledak. Yang saya tahu "KASIH" adalah cara Yesus.
Tingkat hukuman juga semakin bertambah.
Dari kesalahan 1 orang ditanggung sendiri. Kemudian meningkat, kesalahan 1 orang ditanggung 1 kelompok atau satgas. Terakhir kesalahan 1 orang ditanggung semua peserta.
Artinya bila 1 peserta berbuat kesalahan, seluruh peserta dihukum. Masih mending kalau hanya kena hukum saja, tapi sembari dimarahi, dan dibentak. Dan itu loh.... komandan pinter banget milih kalimat-kalimat yang daleeeeem banget bikin hati pedih. Apa karena saya seniman ya? Jadi perasaan gampang diaduk-aduk.
Saya sibuk bertanya kepada Tuhan, apa sih maksud Tuhan sehingga saya ada di acara ini ?
Saya percaya dalam kehidupan orang perrcaya tidak ada istilah "kebetulan".
Sebenarnya setiap sessi firman saya teramat sangat diberkati. Tapi sebelum sessi firman, atau sesudah sessi firman, bentakan kembali terdengar.
Suara kemarahan yang menggelegar seperti merontokkan semangat.
Pada sessi basuh kaki saya benar-benar nggak konsen. Padahal saya ingat belasan tahun lalu saya pertama kali melakukan acara basuh kaki dengan teman-teman sepelayanan di kampus, saya nangis Bombay. Terharu.
Benar-benar mendalami makna basuh kaki Tuhan Yesus dengan murid-muridNya. Sekarang ?
Salah seorang komandan menegur saya sebelum basuh kaki "renungkan.... nangis..."
Saya nggak bisa nangis. Feeling basuh kaki udah nggak dapat.
Berulang kali saya berkata kepada hati saya :
"ini keputusan terburuk yang pernah saya buat dalam pelayanan."
Kalau saja saya bawa mobil pribadi ke acara itu, pasti di malam pertama Doulos camp saya sudah pulang.
LEARN FROM A SOLDIER
Keesokan paginya, saya masih belum mengerti kenapa saya masuk dalam acara yang sangat tidak saya sukai ini. Yang bertentangan dengan hati nurani saya.
Rasanya batin ini menderita sekali.
Pagi itu sebelum sessi firman, diputar sebuah video clip tentang kehidupan seorang prajurit.
Video itu sangat menyentuh hati saya. Mengalahkan segala kekesalan saya sebelumnya.
Saya tersentak, mata saya tercelikkan, hati saya dijamah, dan air mata menetes.
Ada kalimat yang sangat menyentuh:
"jangan mengucapkan kata-kata sedih ketika aku mati, ..... jangan menangis di pusaraku, aku hanyalah seorang prajurit yang menunaikan tugas." (kira-kira seperti itu).
Berasa banget di clip tersebut kalau si prajurit taat 100% kepada komandannya. Tujuan hidupnya menyenangkan hati komandannya.
Sekalipun air mata, beban yang berat, terpisah dari keluarga, yang dia tahu hanyalah menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh komandannya dengan sebaik-baiknya.
Tidak kenal istilah mundur, seberat apapun tantangan di medan pertempuran.
Saya ingat ada firman Tuhan yang berkata:
Ikutlah menderita sebagai seorang prajurit yang baik dari Kristus Yesus.
Seorang prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya, supaya dengan demikian ia berkenan kepada komandannya.
(2 Timotius 2:3-4)
ENDURE HARDNESS.
NEVER GET ENTANGLED IN CIVILIAN PURSUITS
Itulah yang membedakan prajurit dan sipil.
Prajurit, sekeras apapun tantangan di depannya, tidak pernah menyerah. Maju terus melakukan tugas yang diembannya.. Tidak demanding.
Sekalipun berat, ada air mata, hidup parajurit diabdikan untuk mentaati komandannya.
Panglima Uria mencontohkan kehidupan prajurit sejati saat dipanggil pulang oleh Raja Daud. Ia tidak mau pulang ke rumahnya, tidur di tempat tidur yang nyaman, karena dia tahu rekan-rekannya, anak buahnya sedang berjuang di medan peperangan.
Baru-baru ini terjadi peristiwa duka tragedi Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Jawa Barat. Deg-degan, saya selalu mengikuti perkembangan peristiwa tersebut karena ada 2 sahabat dalam Tuhan yang termasuk dalam passengers list pesawat yang jatuh berkeping-keping itu. Sambil berdoa agar kedua sahabat saya bisa diselamatkan.
Hari-hari evakuasi, kita dapat gambaran bagaimana seorang prajurit berjuang.
Penat tak terhingga karena medan yang keras dengan kemiringan nyaris 90 derajat, tidur bergelantungan di pohon, kena dera hujan yang tidak kenal kompromi, turun jurang, apapun mereka lakukan. Tidak kenal kata menyerah, semuanya dipertaruhkan, demi tugas.
IT IS ALL ABOUT JESUS
Saya bersyukur dalam training yang saya ikuti ini, saya kembali diingatkan.
Stop talking about me, me, me.
It is all about Jesus.
Kenapa hukuman ditingkatkan ?Supaya peserta mulai beranjak dari peduli diri sendiri, kepada peduli kepada orang lain, teman-teman sepelayanan, jemaat yang kita layani, karena itu yang Tuhan Yesus kehendaki.
Endure hardness.
Bukan lagi hidup untuk diri sendiri tapi untuk Tuhan.
Walaupun sudah melayani lama, sering nilai-nilai yang paling hakiki dalam firman Tuhan mulai pudar.
Di Doulos camp, moment inilah yang paling memberkati saya.
Saya diingatkan untuk hidup bagi Yesus, dan bukan untuk diri sendiri.
Setelah search di google dan tidak menemukan clip yang sangat memberkati tsb, saya menukan clip ini. Nggak sama tapi liriknya sangat memberkati. Tentang seorang prajurit yang sudah selesai menunaikan tugasnya. Atau tepatnya yang sudah selesai masa tugasnya, dan pulang ke rumah Bapa.
Artist: Janet Paschal “Another Soldier’s Coming Home"
verse 1:
His back is bent and weary
His voice is tired and low
His sword is worn from battle
And his steps have gotten slow
But he used to walk on water
Or it seemed that way to me
I know he moved some mountains
And never left his knees.
chorus:
Strike up the band
Assemble the choir
Another soldier’s coming home
Another warrior hears the call he’s waited for so long.
He’ll battle no more
('cause) He’s won his wars
Make sure Heaven’s table has room for at least one more.
Sing a welcome song
Another soldier’s coming home.
verse 2:
He faced the winds of sorrow
But his heart knew no retreat
He walked in narrow places
Knowing Christ knew no defeat
But, now his steps turn homeward
So much closer to the prize
He’s sounding kind of homesick
There’s a longing in his eyes.
Kalau saya meninggal nanti, pulang ke rumah Bapa, saya ingin lagu ini dinyanyikan di acara funeral service.
Please don't cry, don't speak sorrowful words.
Nothing special about me and my life.
I'm just a soldier coming home.
Saya bersyukur nggak jadi pulang malam sebelumnya.
Kalau saya pulang, tidak akan mendapatkan pencerahan.
(but still I hate anger and prefer love)
All Blessings,
Julita Manik
PS. Another soldier's coming home.
Mengenang Kornel Sihombing (bang Onyek) dan Capt. Darwin Pelawi.
Selamat jalan sahabat. Sampai bertemu lagi.
Penghiburan dari Tuhan Yesus menguatkan seluruh keluarga yang ditinggalkan.