Monday, June 23, 2008

"MENDADAK BATIK" (and Batik Goes To Church too)

JAKARTA DILANDA DEMAM BATIK.
Kenapa saya katakan Jakarta?
Karena yang sudah kelihatan demamnya memang di Jakarta. Baru-baru ini teman saya yang baru balik dari Jawa Tengah justru mengatakan di sana malah biasa-biasa aja.
Nggak seperti di Jakarta.
Sekarang kalau teman-teman jalan-jalan di mall, hampir semua tempat pameran di lantai dasar diisi dengan gelaran batik. Bahkan kompleks butik ITC Mangga Dua yang terkenal dengan koleksi fashion dari Hongkong, Korea dan Eropa pun tak luput dari serbuan batik. Can you imagine that?

Belum pernah terjadi lho gejala yang seperti ini. Ini sih bukan sekedar gejala demam saja, tapi sudah menjadi wabah. Bahkan beberapa butik yang hanya menggelar fashion import menjadi sepi pengunjung. Hampir semua customer yang datang ke butik menanyakan “ada batik nggak?”.
Salah seorang SPG sebuah toko fashion mengatakan :
“wahh…sekarang batik best seller mbak, mengalahkan baju-baju import!!”.
Siapa pembelinya? Mulai dari kulit kuning, mata sipit, rambut lurus, sampai kulit hitam, mata belo, rambut keriting, EVERYONE LOVES BATIK !!!. Mendadak batik menjadi favorit semua lapisan masyarakat.

Saya rasanya bangga sekali menyadari fenomena ini. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, batik menaklukkan fashion di Jakarta dalam skala mayoritas.
Berjalan di pusat pertokoan, di mana di kiri-kanan saya, berjejer koleksi batik yang beraneka ragam, nasionalisme saya bangkit. Batik kan identik dengan Indonesia. Akhirnya batik menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Paling nggak di Jakarta deh.

Teman saya, seorang karyawati, ada yang mengeluh, karena dulu sangat tidak suka memakai batik, sehingga banyak baju batiknya yang sudah dihibahkan ke orang lain. Akibatnya sekarang dia harus beli lagi. Memang, di dunia pekerjaan, dulu batik identik dengan perusahaan BUMN. Biasanya tiap Jumat semua karyawan memakai batik. Dan kaum muda biasanya hatinya terpaksaaaa.... banget untuk mengenakannya.
Why? Apa boleh buat, kalau dulu batik itu kesannya kuno sih.
Jadi setiap kali memakainya, ada kesan jadul gitu. Nah, orang muda biasanya sangat anti akan jadulisme. Dan terus terang, bagi saya, ini pertama kalinya juga saya memiliki koleksi batik. Sebelumnya sangat ogah. Sekarang…...mau ahhh. Sampai saya meminta koleksi kain batik mama saya yang usianya sudah dua puluhan tahun. Dulu…...ditawarin juga nggak mau.
Bahkan menjawab :” Nggakkk!!!” ,..... nggak pakai mikir.

Kalau sekarang beda. Mau mode apa? Semuanya ada (khususnya bagi kaum wanita). Bahkan sangat up to date loh. Mau kerah Victoria, rok balon, lengan balon, tank top, trench coat, terusan panjang yang sekarang sangat in, jumpsuit, kimono, ponco, semuanya ada. Sangat modis sekali.
Bahkan bagi yang pria, memakai batik tidak hanya dengan cara konservatif (kemeja di luar celana panjang). Sekarang banyak yang mengenakannya dengan memasukkan kemeja ke dalam celana panjang. Tergantung selera.

Dan yang penting semua orang bisa memakainya. Badan kurus, sedang, ataupun gemuk, no problemo. Semua bisa disesuaikan. Mau bahan batik tulis yang mahal, sampai batik print yang jauh lebih minimalis, tinggal sesuaikan aja. Karena harga tidak mempengaruhi mode. Budget di bawah Rp.100.000 juga bisa mendapatkan koleksi yang sama up to date nya dengan yang berharga jutaan rupiah.
Hahaha…...so everyone is happy.

Kalau dulu di kantor merasa tersiksa bila di hari Jumat harus memakai batik, sekarang menjadi hari yang dinanti. Bahkan ada yang janjian hampir tiap hari pakai batik loh. So…kalau teman-teman jalan di pusat perkantoran maka pemandangan 'batik is everywhere' akan mudah Anda temukan.

AND BATIK GOES TO CHURCH TOO


















Paling nggak di gereja lokal saya (see...ini bukan foto lagi di kondangan lho, it's taken after Sunday Service).
Waktu saya meng-sms rekan-rekan pengerja tentang jadwal seragam bulan Mei, saya memasukkan seragam batik + celana panjang hitam di minggu ke tiga. Dan takut ada yang protes, saya katakan kalau nggak punya batik, boleh pakai atasan motif.
Ternyata reaksinya sangat di luar dugaan. Semua antusias. Bahkan ada singer yang saat latihan hari Sabtu sore, belum punya seragam batik untuk keesokan harinya, tetap niat lho mencari batik sehabis latihan musik. Meskipun saya sudah katakan it’s ok kalau besok pakai kemeja motif saja. Seragam kan dibuat semata untuk kerapihan. Bukan untuk menyusahkan pengerja.
Dan keesokan harinya, dia muncul dengan baju batiknya yang brand new sambil tersenyum sumringah.

Hahaha…bahkan saking besarnya animo, teman-teman saya minta, jadwal seragam batiknya ditambah. Jadi bulan Juni ini, kami dua kali memakai batik. Aduuuhhh... itu sesuatu yang impossible terjadi sebelumnya.
Anak-anak youth sampai sekolah minggu pun (termasuk guru-guru sekolah minggu lho) tak ketinggalan memakai batik. Manis dan kompak banget.

Saat menghadiri diklat di salah satu denominasi gereja, semua panitianya juga memakai batik. Dan banyak peserta juga memakai batik.
Oh Tuhan, gejala apa ini? Kenapa bisa mempengaruhi begitu banyak orang dalam waktu yang singkat? Saya tahu dulu perancang-perancang fashion mencoba mengusung kain-kain dari daerah-daerah Indonesia, tapi belum pernah terjadi wabah yang seperti saat ini. Paling-paling hanya mempengaruhi orang-orang yang benar-benar sadar mode.
Lain dengan demam batik kali ini. Saat ini orang yang tidak punya koleksi batik, bisa dianggap orang yang out of date.... Nah lo....

Tapi yang paling dan sangat membahagiakan saya, fenomena ini menjadi berkat bagi pengrajin batik di daerah. Di sebuah majalah wanita saya membaca, seorang pengusaha batik mengatakan, demam batik membuat pertumbuhan pengrajinnya hampir 10 x lipat. 1000 % my friends. Wow.....that’s amazing!!!.

Dampak lainnya, bermunculan designer dan pengusaha dadakan yang memanfaatkan momentum ini. Biasanya mode fashion mereka lebih variatif dan harganya lebih terjangkau. Karena biasanya designer dadakan ini adalah para user yang menginginkan mode tertentu tetapi tidak atau belum menemukannya. Sehingga mereka berinisiatif mencari kain batik ke pengrajin dan menjahitkannya ke tukang jahit menurut mode yang mereka inginkan. Dan ternyata banyak yang suka, dan jadilah mereka pengusaha baru.

Ada banyak orang diberkati melalui demam batik ini.
Pengrajin, pengusaha, penjahit, pemakai, semuanya diberkati. Bahkan gereja pun diberkati dengan penampilan yang membangkitkan nasionalisme. Anak youth di gereja pun mulai menghargai karya bangsanya, karena tetap bisa funky walaupun memakai batik.

Di masa yang sulit ini saya percaya Tuhan memberi jalan keluar bagi umatNya.
Saat harga-harga membumbung tinggi, ada geliat perekonomian melalui demam batik.
Seperti lirik sebuah lagu “Dia Mengerti Dia Peduli”, selalu ada jalan keluar bagi umatNya yang berteriak kepadaNya, karena Tuhan tidak pernah membiarkan.

Jadi…kalau teman-teman belum punya koleksi batik… sekarang waktunya yah.
Let’s bless each other through BATIK.


All blessings,

Julita

No comments:

Post a Comment



<br><br>



<br><br>