Thomas Merton, seorang biarawan Amerika, dan juga penulis 50 buku dan 2000 puisi, berkata, "The biggest human temptation is too settle for too little.
Mungkin berbeda-beda interpretasi teman-teman saat membaca quote ini.
Ada yang bilang kalau artinya, manusia itu sudah nyaman dengan sedikit yang dimilikinya, dan kurang mau berjuang lebih lagi.
Tapi untuk saya pribadi kalimat ini bicara tentang manusia yang tidak bisa menerima 'sedikit' yang dimilikinya.
Bagi mereka hukum ini yang berlaku: Little means nothing.
(It s just a) s.m.a.l.l TALENT
Masih ingat tentang perumpamaan TALENTA kan?
Bagaimana effort si penerima 5 dan 2 talenta untuk memultiplikasi talentanya, dan berhasil menerima profit 5 dan 2 talenta.
Tapi sesungguhnya bagian yang paling tersohor di perumpamaan ini adalah tentang si penerima 1 talenta yang tidak puas dan bersungut-sungut atas sangat sedikit talenta yang dimilikinya, dan memilih untuk mengubur talentanya dalam tanah. Menganggap remeh untuk 'sedikit' yang dipercayakan kepadanya.
YOU'RE WASTING YOUR ENERGY by
Oooh..... kisah ini tidak terjadi di kitab Injil saja my friends, masih didaur ulang dan masih fresh hingga sekarang di abad 21. Buktinya?
Saya sangat sering melihat orang-orang di sekeliling saya yang kasat mata jelas sebagai pihak penerima 1 talenta, yang ogah-ogahan melipatgandakan talentanya (hmmmh... I remember I was member of this club).
Atau mungkin sempat berusaha tetapi kandas di tengah jalan karena tantangan berat yang dihadapi.
Ujung-ujungnya....yah... tidak berbuat apa-apa lagi, dan berandai-andai, "kalau saja aku punya talenta yang lebih besar, aku pasti akan bisa dapat profit juga seperti yang lain....."
Friends, pengalaman saya mengajarkan, little doesn't mean nothing, dan banyak true story disekeliling saya yang mengajarkan small can be BIG, makanya teman-teman harus meluangkan waktu membaca kisah
di bawah ini.
m.i.n.o.r can be M.A.J.O.R (part 1)
Apakah orang buta bisa mendaki Mount Everest ?
Mungkin dengan cepat kita akan berkata, "mana mungkin".
Friends, seumur-umur ... saya hanya pernah mendaki gunung Gede dan gunung Cikurai. Itu aja udah ngos-ngosan setengah mati dan di tengah jalan berulang kali mau menyerah. Gimana kalau mata nggak bisa melihat dan yang didaki Mt. Everest gunung tertinggi di dunia ?
Tapi ternyata jawaban pertanyaan di atas: 'BISA !!!"
Karena Erik Weihenmayer, seorang Amerika menjadi 'the first and the only blind man' yang menorehkan namanya sebagai penjejak kaki di puncak tertinggi tersebut pada tanggal 25 Mei 2001.
Dari lebih 3000 orang penakluk Everest, seorang laki-laki -yang sejak lahir memiliki masalah dengan matanya dan buta total di usia 13 tahun- menjadi salah seorang diantaranya.
CLIMB FARTHER THAN THE EYE CAN SEE
Puncak kenikmatan seorang pendaki gunung adalah ketika mencapai puncak menyaksikan pemandangan yang luar biasa indah yang hanya bisa dilihat langsung oleh seorang penakluk. Dan Erik tidak bisa menikmatinya sama sekali. Tapi ia tetap punya keinginan yang kuat untuk bisa sampai di sana.
Perjalanannya juga bukan perjalanan yang mudah. Semuanya serba extreem.
Medan yang extreem berat, udara yang extreem dingin, angin yang extreem kencang dan oksigen yang extreem tipis adalah tantangan yang sama dihadapi oleh semua pendaki yang lain. Bahkan tercatat lebih 200 orang meninggal saat pendakian di Mt Everest.
Belum lagi kondisi mata Erik yang buta membuat hambatan tersebut menjadi extreem pangkat 10.
Untuk mengatasi hambatan penglihatan, Erik biasanya mendaki dengan seorang partner pendaki yang berjalan tepat di depannya dan dilengkapi dengan bell di ranselnya.
Sehingga dengan mudah Erik dapat mengetahui arah perjalanan melalui bell yang berdenting dan mengikuti langkah kaki sang partner.
Pada saat harus melangkahi jurang sempit tetapi sangat dalam, maka partner dan sherpa yang mendampinginya akan menjelaskan dengan detail medan yang akan dilalui supaya Erik tidak mengalami kecelakaan dan terperosok ke dalamnya.
Wow.....nggak sanggup saya membayangkannya....
Benar-benar a tough journey.
Sejak penaklukan Mt Everest, kepopuleran namanya tidak perlu diragukan lagi. Menjadi cover majalah TIME, bahkan diterima menjadi tamu Gedung Putih oleh Presiden George W. Bush yang menjabat pada waktu itu.
Puas dengan semua yang dialaminya?
Tidak. He keeps climbing and climbing. Erik bahkan sudah menaklukkan
The Seven Summits, 7 puncak tertinggi yang ada di dunia, pada bulan September 2002.
Ketika di Tibet, ia menemukan kenyataan bahwa orang-orang buta diperlakukan dengan buruk di sana karena anggapan mereka dikuasai oleh kuasa kegelapan atau pernah berbuat jahat di kehidupan sebelumnya.
Sehingga selama 2 tahun ia bekerja keras mencari sponsor untuk CLIMBING BLIND EXPEDITION, yaitu membawa anak-anak Tibet yang buta untuk mengalami pengalaman mendaki seperti dirinya.
Ia sukses membawa 6 anak remaja Tibet yang buta mendaki hingga ketinggian 6.400 m (bandingkan dengan Mt Everest yang setinggi 8.848 m, wow... berhasil sampai 70% ketinggian puncak tertinggi di dunia loh).
Mau tahu opini Erik tentang kehidupan?
"You can look at life as a nightmare or as an adventure.
I chose adventure."
Friends, saya semakin diyakinkan kalau semua orang diciptakan dengan kemampuan untuk membuat suatu pencapaian terhadap tujuan hidupnya.
Still got the feeling "I have too little" or "I am a nobody" ?
Masih ada satu kisah lagi.
m.i.n.o.r can be M.A.J.O.R (part 2)
Kalau kisah Erik Weihenmayer terjadi sudah 8 tahun yang lalu, maka another BIG STORY kali ini baru saja terjadi. Masih anyar. Masih hangat.
Beberapa waktu sebelumnya Liu Wei hanyalah seorang pemuda China biasa, berusia 23 tahun, yang berdomisili di Beijing. Mungkin banyak orang disekelilingnya yang berpikir he is really really a nobody.
Siapakah Liu Wei ?
Terlahir normal, tetapi pada usia 10 tahun mengalami kejadian tragis yang mengubah jalan hidupnya.
Waktu itu Liu Wei sedang asyik bermain petak umpet dengan teman sekelasnya, ia tidak sengaja menyentuh kabel listrik yang segera menyengat tangannya dan yang membuat hidupnya selama 45 hari berada dalam keadaan kondisi yang membahayakan.
Ketika sadar, Liu Wei melihat bahwa dia tidak lagi memiliki kedua lengannya.
Liu Wei kecil menangisi hidupnya.
Bersyukur ia memiliki papa mama yang menyemangati Liu Wei untuk menjalani hidup sebagaimana orang yang normal. Belajar mengerjakan segala sesuatu serba sendiri, tidak boleh menggantungkan hidupnya pada orang lain, termasuk orang tuanya.
"Kamu harus belajar makan sendiri, kalau nggak, saat papa mama sudah tua siapa yang akan mengurus dirimu?"
Itulah pesan yang diajarkan orangtuanya.
Sang mama juga selalu menyemangati Liu Wei, kalau anaknya ini tidak berbeda dengan anak normal yang memiliki 2 lengan.
Liu Wei segera beradaptasi dengan keadaan tubuhnya, sehingga sekarang ia dapat berkata,
"DIbandingkan orang lain, saya tidak berbeda.
Kalau kamu mengerjakan segala sesuatu dengan tanganmu, maka aku menggunakan kakiku."
Kalau kamu mengerjakan segala sesuatu dengan tanganmu, maka aku menggunakan kakiku."
"THERE'S NO RULE THAT SAYS PIANO CAN BE ONLY PLAYED BY HANDS" (Liu Wei)
From nobody to somebody.
Itulah yang terjadi saat Liu Wei mengikuti China's Got Talents pada bulan Agustus 2010 lalu.
Ditayangkan dan disaksikan hampir 1.3 Milyar penduduk, yang tidak sanggup menahan airmata menyaksikan Liu Wei memainkan lagu “Mariage D’amour” pada grand piano. Sangat indah. Ini bukan permainan piano biasa, karena ia memainkan piano tsb dengan jemari kakinya.
Kursi piano diatur sedemikian rupa dan ada bench kecil di depan piano sehingga Liu Wei bisa dengan leluasa menaruh kakinya di atas piano. Mungkin pertamanya semua orang meragukan apa mungkin alunan nada indah akan dihasilkan oleh jari jemari kaki?
Friends, piano itu sesungguhnya didesain untuk jari tangan, yang jelas-jelas bentuknya jauh lebih kecil dan panjang daripada jari kaki. Jari yang panjang membuat jangkauan tangan menjadi luas, dan bentuknya yang lebih mungil dari jari kaki membuat gerakannya lebih leluasa.
Lah....kalau dengan kaki ? Saya belum kebayang, apalagi jempol kaki yang bentuknya besar. Wah....wah....wah......
Dan ternyata, Liu Wei memainkan lagu “Mariage D’amour”dengan begitu undah.
Flawless. Nggak cukup 2 jempol tangan diacungkan kepadanya.
Bahkan jelas terlihat di televisi, orang-orang yang meneteskan air mata melihat perjuangannya.
Kejadian Susan Boyle terulang lagi.
Saya sangat tahu sekali kalau apa yang dijalani Liu Wei sama sekali tidak populer dan tidak mudah.
Saya sejak umur 10 tahun sudah belajar piano, dengan tangan.
Dan pertama kali ketemu, guru saya sudah nakut-nakutin dengan statement "dua alat musik yang paling susah dikuasai adalah biola dan piano".
Dan saya juga dengar, mulai belajar piano di atas usia 12 tahun adalah berat, tidak semudah anak-anak yang memulai dini di usia 6 tahun.
Itu yang saya tahu.
Paling nggak ini beberapa hambatan Liu Wei yang saya bisa deteksi:
Liu Wei baru belajar piano di usia 19 tahun (hambatan pertama).
Liu Wei harus belajar menggunakan kakinya (hambatan kedua)
Liu Wei harus bertarung dengan keinginan berhenti di tengah jalan (hambatan ketiga).
(lha....wong saya yang belajar pake tangan, plus start sejak usia 10 tahun saja berulang kali berpikir untuk berhenti, karena sulit dan bosan.....)
Dan pasti Liu Wei memiliki lebih banyak lagi hambatan yang tidak dialami oleh orang-orang lain.
STOP COMPLAINING. LIVE YOUR LIFE SPLENDIDLY.
Seperti Erik Weihenmayer, Liu Wei punya pandangan terhadap kehidupan.
"I think that in my life there are only 2 choices:
either quickly die, or live life splendidly.
either quickly die, or live life splendidly.
There's no rule that says piano can be only played by hands."
Hanya ada 2 pilihan. Mau hidup biasa-biasa, atau luar biasa?
Kalimat terakhir yang dahsyat, .... tidak ada ketentuan bahwa piano hanya bisa dimainkan dengan tangan.
Believe it or not. Kalimat di atas dengan segera akan sering dikutip oleh banyak motivator, blogger, ataupun netter. Kalimat yang sangat inspiratif. Membuat orang lain belajar melihat dan bertindak melebihi segala keterbatasan yang menghalangi.
Apakah teman-teman pemilik 1 talenta?
Keputusan ada di tangan masing-masing.
Mau pilih percaya 'little means nothing' atau
'small can be BIG" ?
Saya tentu saja pilih yang terakhir.
All blessings,
Julita Manik
No comments:
Post a Comment